Kaya akan Kesenian
Sebagai desa yang kental akan kebudayaannya, Desa Jati memiliki berbagai kesenian yang khas disajikan oleh masyarakatnya sendiri. Hampir setiap dusun memiliki jenis kesenian yang berbeda, diantaranya Dusun Winong dengan kesenian kubra bernama Muda Adikarsa, Dusun Sawangan dengan kesenian kuda lumping, Dusun Jangkang dengan kesenian dayakan, Dusun Siringin dengan kesenian topeng ireng bernama Setialoka, Dusun Kembangan Lor dengan juga topeng ireng bernama Singasari, serta Dusun Kliwonan dengan drum band bernama Lorantika.
Kesenian-kesenian yang disajikan di setiap dusun tersebut biasanya dapat dinikmati secara bersama-sama oleh warga desa dalam festival memperingati hari kemerdekaan atau ketika kedapatan acara-acara hajatan seperti pernikahan, sunatan, hingga selametan. Tidak hanya ditampilkan untuk warganya sendiri, kesenian-kesenian lokal Desa Jati tersebut melalang buana diundang hingga ke perayaan-perayaan di desa lain. Ini tidak lain disebabkan oleh peran aktif para pemuda dan penggagas kesenian yang tidak berhenti untuk meneruskan jejak-jejak keseniannya.
Anggota-anggota tim kesenian di tiap dusun tersebut terdiri dari beragam usia, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Semuanya tersebar dalam perannya masing-masing. Misalnya pada kesenian Kubra di Dusun Winong, terdapat peran penari yang terdiri dari usia anak-anak hinga dewasa, lalu penyanyi dan pemain musik dengan usia yang biasanya lebih tua. Semua pemain tersebut selalu latihan rutin setidaknya dalam satu bulan sekali. Sayangnya kondisi pandemi menyebabkan aktivitas berlatih dan tampil menjadi terhambat.
Syarat akan Makna
Kesenian yang ditampilkan tidak hanya berupa tari-tarian tanpa makna, setiap komponen didalamnya disusun sebetulnya sekaligus untuk penyebaran ajaran kebaikan. Misalnya pada komponen musik yang didengungkan ketika penari melakukan tariannya. Apabila dicermati, musik dan gerakan tersebut mengandung urutan dan makna yang saling terpadu. Pada awal acara biasanya akan terdengar nyanyian selamat datang atau dalam bahasa jawa disebut “sugeng rawuh” dengan gerakan pendukung. Ini dimaksudkan untuk menyambut tamu yang hadir untuk menonton acara kesenian tersebu agar dapat berbahagia bersama dan berdoa supaya senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
Misalnya juga pada tarian kubro, iringan musik berisikan syair-syair islami. Syair lagu sendiri identik dengan karya sastra dalam bentuk puisi. Contoh syair yang didengungkan misalnya pada lagu Poro Maungsa dengan lirik:
kito poro menungso ayo podo ngaji (kita semua manusia ayo mengaji); Islam ingkang sempurna pedaging bumi (Islam agama yang sempurna, memberi cahaya bagi bumi); ayo konco – ayo ojo lali (Ayo kawan – ayo kawan jangan sampai lupa); lali mundak ciloko mlebu njroning geni (lupa menyebabkan celaka, masuk kedalam api); yaiku neraka bedenduning Gusti (yaitu neraka tempat pembalasan Tuhan).
Syair tersebut merupakan ajakan untuk tidak lupa mengaji, juga bahwa manusia akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya selama hidup.
Gerakan tarian kubro juga mengandung pemaknaan untuk dapat mencintai perdamaian dengan menggambarkan pembelaan terhadap bangsa Indonesia. Misalnya melalui gerakan tangan yang mengepal kedepan untuk melambangkan persiapan dalam melakukan penyerangan terhadap musuh. Kemudian gerakan menyatukan pedang dan beradu silang antara dua pemain yang saling berpandangan yang melambangkan penyerangan dan perlindungan diri.
Bukan hanya makna syair dan gerakannya saja yang menarik, kesenian-kesenian tersebut juga menghadirkan unsur magis dalam pelaksanaannya. Pemain tertentu biasanya mengalami kerasukan (kesurupan) dan menunjukkan perilaku yang unik. Diantaranya seperti menirukan perilaku hewan, meminta suatu lagu dan berjoget dengan ekspresifnya, bisa juga meminta disediakan barang tertentu. Sehingga untuk membuat suasana tetap terkendali, perlu dihadirkan pawang yang ahli dalam dunia transedental tersebut.
Diinisasi Warga Sendiri
Semangat warga dalam hal kesenian patut diapresiasi sebab gagasan akan hadirnya kesenian yang sampai sekarang masih ada di berbagai dusun di Desa Jati diprakarsai langsung oleh warganya sendiri. Biasanya penggagas yang tertarik terhadap satu kesenian tertentu akan mengundang orang dari daerah lain yang dianggap paham untuk memberikan pembelajaran sampai benar-benar bisa. Ilmu ini kemudian dipraktekkan bersama warga desa lain dan dilanjutkan secara turun-temurun melalui proses regenerasi.
Salah satu contohnya pada kesenian Kubra Muda Adikarsa yang berdiri sejak 5 Agustus 1986 di Desa Jati. Kesenian ini digagas salah satunya oleh Bapak Jatmoko yang hingga kini telah megalami regenerasi. Nama “Muda Adikarsa” sendiri mempunyai arti anak muda yang memiliki keinginan yang bagus (apik). Beliau awalnya tertarik dengan kesenian Kubra dari Magelang dan meminta bantuan orang dari daerah tersebut untuk mengarinya. Bersama teman-teman, beliau pun belajar bersama lalu kondang melangsungkan pertunjukan dari tempat ke tempat.